Ibu, Ajari Aku Menjadi Imam
Usiaku sudah 10 tahun, Ibu. Aku merasa sudah besar dan bisa melakukan banyak hal sendiri. Mencuci piring, sepatu, menyapu rumah, aku sudah biasa melakukannya. Tapi maaf ya, Bu. Kalau mencuci baju, aku belum bisa, tepatnya belum mau. Soalnya aku bosan menunggu mesin cuci yang terus berputar, lalu membilas baju, memberi pengharum dan mengeringkannya. Lama. Nanti kalau aku sudah SMP, aku akan belajar mencuci baju sendiri. Nggak apa ya, Bu J
Aku juga nggak malu melakukan itu semua disaat teman-temanku ada yang jahil bilang begini, “Iih, anak cowok kok nyuci piring dan nyapu rumah sih!” Aku hanya kesal saja, kenapa mereka bisa berpikir begitu ya, Bu? Bukankah menjaga kebersihan itu adalah kewajiban tanpa pandang bulu laki-laki atau perempuan? Lalu, seandaikan anaknya laki-laki semua seperti Ibu, apa harus Ibu yang melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga? Aneh ya teman-temanku. Dengan santai aku jawab, “Iya dong. Aku kan pengen banyak amal. Lagipula, masa pekerjaan begini saja anak laki-laki nggak bisa sih” Kalau sudah begitu, teman-temanku akan berteriak jengkel dan mendenguskan hidung. Diam-diam, aku berdoa agar suatu saat mereka akan melakukan apa yang aku lakukan, walau dengan sembunyi-sembunyi. Dan aku mengucap syukur, betapa beruntungnya aku memiliki Ibu yang mengajarkan banyak hal. Dari membaca sampai puasa. Dari mengepel sampai menghapal. Dari mencuci sampai mengaji. Dan yang pasti, Ibu tak lelah mengajarkan aku untuk menjadi seorang lelaki yang bijak dan soleh.
Ibu pernah bilang bahwa aku adalah harta yang tak ternilai. Ah, Ibu, sepertinya engkau lebay, deh. Aku kan hanya seorang anak lelaki kurus, berkacamata dan sering lupa akan nasihatmu. Aku adalah bocah yang tertawa senang melihat tangisan adik yang berhasil aku ganggu. Aku sebatas mengiyakan beberapa permintaanmu, tanpa mau beranjak cepat untuk melakukannya. Ibu ingat sewaktu aku menolak sarapan dengan alasan kenyang karena sudah minum susu? Di sekolah, perutku sakit seperti ditusuk jarum dan ditimpa batu. Lagu dengan raut muka khawatir engkau menjemputku di sela waktu menggosok baju yang setinggi gunung. Aku semakin paham sebatas mana cinta Ibu untukku.
Tapi bukan berarti engkau hanya diam dan mengelusku dengan sayang. Engkau pernah sangat marah ketika aku menjahili adik sampai membuat dia menangis dan terluka. Atau ketika aku sengaja melupakan kewajibanku, eh kebutuhanku, sholat. Engkau marah sekali kalau aku sampai menunda-nundanya karena keasyikan menonton televisi. Atau betapa kecewanya engkau ketika aku melalaikan murojaah, tidak berempati pada sesama, belajar seadanya dan tidak mengerjakan PR dengan alasan lupa. Duuh Ibu, marahmu membuat aku takut campur bingung. Soalnya marah Ibu itu unik. Ibu pernah mengomel. Tapi lebih sering menatapku tajam lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tatapan itu membuatku takut, melebihi takut pada topan dan halilintar (sekarang gantian aku yang lebay deh, J ). Setelah memohon dan berjanji tidak akan mengulanginya, engkau akan keluar dengan pandangan yang tidak terlalu tajam dan terkadang dengan senyum terpaksa. Senyum tak yakin bahwa aku akan menepati janji bahwa tidak akan melakukannya lagi, hehehe... Atau ketika kita melakukan sholat jamaah dan aku (lagi-lagi) menjahili adik. Kita harus mengulang karena saat memasuki rakaat kedua, adik menangis karena kakinya sengaja aku injak. Aku tertawa geli. Lalu Ibu mengucap Subhanallah, membalikkan badan dan berujar, “Kalau menjadi makmum saja engkau tak bisa, bagaimana kelak akan menjadi imam?” Ibu, pertanyaanmu membuat aku tersipu malu. Malu akan sikapku yang konyol dan kekanak-kanakan. Maaf ya, Bu.
Namun walau bagaimana pun, aku adalah lelakimu. Aku adalah pujaan hatimu. Aku adalah seonggok daging dengan ruh yang suatu saaat akan menjadi imambagimumu. Imam bagi adik-adik dan keluargaku kelak. Imam bagi orang-orang yang membutuhkan aku di suatu saat. Aku ingin engkau mengajarkan itu Ibu. Tetap dengan kelembutan sekaligus ketegasan darimu. Delikan tajam tak mengapa aku terima, asalkan sesudah itu aku melihat senyum bahagia darimu. Sesekali cubitan di pinggang pura-puratak aku rasakan, asalkan sesudah itu aku bisa menghujanimu dengan hapalan Al Quran yang aku pelajari dengan sepenuh hati.
Sementara ini, aku harap Ibu tak pernah berhenti memanjatkan doa. Agar aku menjadi manusia seperti yang kau pinta. Menjadi lelaki dewasa yang menuntunmu penuh cinta di senja usia. Yang kelak menggendongmu dengan tatapan santun menuju surga. Maka Ibu, tolong ajari aku menjadi seorang imam...
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Fitri Restiana/Fifi. Ibu penulis yang memiliki dua putra dan berdomisili di Bandarlampung. Tulisannya dimuat di beberapa media dan baru memiliki 4 buku antologi. Ingin ngobrol dan berkenalan, silahkan sapa di www.fitrirestiana@web.id atau FB https://www.facebook.com/fitri.restiana. Dijamin, akan disambut dengan senyum tulus dan secangkir coklat panas.
PelitaNusatara, April 2015
Aku juga nggak malu melakukan itu semua disaat teman-temanku ada yang jahil bilang begini, “Iih, anak cowok kok nyuci piring dan nyapu rumah sih!” Aku hanya kesal saja, kenapa mereka bisa berpikir begitu ya, Bu? Bukankah menjaga kebersihan itu adalah kewajiban tanpa pandang bulu laki-laki atau perempuan? Lalu, seandaikan anaknya laki-laki semua seperti Ibu, apa harus Ibu yang melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga? Aneh ya teman-temanku. Dengan santai aku jawab, “Iya dong. Aku kan pengen banyak amal. Lagipula, masa pekerjaan begini saja anak laki-laki nggak bisa sih” Kalau sudah begitu, teman-temanku akan berteriak jengkel dan mendenguskan hidung. Diam-diam, aku berdoa agar suatu saat mereka akan melakukan apa yang aku lakukan, walau dengan sembunyi-sembunyi. Dan aku mengucap syukur, betapa beruntungnya aku memiliki Ibu yang mengajarkan banyak hal. Dari membaca sampai puasa. Dari mengepel sampai menghapal. Dari mencuci sampai mengaji. Dan yang pasti, Ibu tak lelah mengajarkan aku untuk menjadi seorang lelaki yang bijak dan soleh.
Ibu pernah bilang bahwa aku adalah harta yang tak ternilai. Ah, Ibu, sepertinya engkau lebay, deh. Aku kan hanya seorang anak lelaki kurus, berkacamata dan sering lupa akan nasihatmu. Aku adalah bocah yang tertawa senang melihat tangisan adik yang berhasil aku ganggu. Aku sebatas mengiyakan beberapa permintaanmu, tanpa mau beranjak cepat untuk melakukannya. Ibu ingat sewaktu aku menolak sarapan dengan alasan kenyang karena sudah minum susu? Di sekolah, perutku sakit seperti ditusuk jarum dan ditimpa batu. Lagu dengan raut muka khawatir engkau menjemputku di sela waktu menggosok baju yang setinggi gunung. Aku semakin paham sebatas mana cinta Ibu untukku.
Tapi bukan berarti engkau hanya diam dan mengelusku dengan sayang. Engkau pernah sangat marah ketika aku menjahili adik sampai membuat dia menangis dan terluka. Atau ketika aku sengaja melupakan kewajibanku, eh kebutuhanku, sholat. Engkau marah sekali kalau aku sampai menunda-nundanya karena keasyikan menonton televisi. Atau betapa kecewanya engkau ketika aku melalaikan murojaah, tidak berempati pada sesama, belajar seadanya dan tidak mengerjakan PR dengan alasan lupa. Duuh Ibu, marahmu membuat aku takut campur bingung. Soalnya marah Ibu itu unik. Ibu pernah mengomel. Tapi lebih sering menatapku tajam lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tatapan itu membuatku takut, melebihi takut pada topan dan halilintar (sekarang gantian aku yang lebay deh, J ). Setelah memohon dan berjanji tidak akan mengulanginya, engkau akan keluar dengan pandangan yang tidak terlalu tajam dan terkadang dengan senyum terpaksa. Senyum tak yakin bahwa aku akan menepati janji bahwa tidak akan melakukannya lagi, hehehe... Atau ketika kita melakukan sholat jamaah dan aku (lagi-lagi) menjahili adik. Kita harus mengulang karena saat memasuki rakaat kedua, adik menangis karena kakinya sengaja aku injak. Aku tertawa geli. Lalu Ibu mengucap Subhanallah, membalikkan badan dan berujar, “Kalau menjadi makmum saja engkau tak bisa, bagaimana kelak akan menjadi imam?” Ibu, pertanyaanmu membuat aku tersipu malu. Malu akan sikapku yang konyol dan kekanak-kanakan. Maaf ya, Bu.
Namun walau bagaimana pun, aku adalah lelakimu. Aku adalah pujaan hatimu. Aku adalah seonggok daging dengan ruh yang suatu saaat akan menjadi imambagimumu. Imam bagi adik-adik dan keluargaku kelak. Imam bagi orang-orang yang membutuhkan aku di suatu saat. Aku ingin engkau mengajarkan itu Ibu. Tetap dengan kelembutan sekaligus ketegasan darimu. Delikan tajam tak mengapa aku terima, asalkan sesudah itu aku melihat senyum bahagia darimu. Sesekali cubitan di pinggang pura-puratak aku rasakan, asalkan sesudah itu aku bisa menghujanimu dengan hapalan Al Quran yang aku pelajari dengan sepenuh hati.
Sementara ini, aku harap Ibu tak pernah berhenti memanjatkan doa. Agar aku menjadi manusia seperti yang kau pinta. Menjadi lelaki dewasa yang menuntunmu penuh cinta di senja usia. Yang kelak menggendongmu dengan tatapan santun menuju surga. Maka Ibu, tolong ajari aku menjadi seorang imam...
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Fitri Restiana/Fifi. Ibu penulis yang memiliki dua putra dan berdomisili di Bandarlampung. Tulisannya dimuat di beberapa media dan baru memiliki 4 buku antologi. Ingin ngobrol dan berkenalan, silahkan sapa di www.fitrirestiana@web.id atau FB https://www.facebook.com/fitri.restiana. Dijamin, akan disambut dengan senyum tulus dan secangkir coklat panas.
PelitaNusatara, April 2015
Artikel ini bermanfaat berbagi dengan sahabat Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar