Hukum Fiqih, Suami Menggauli Istri dalam Kondisi Istihadhah?
Sahabat ummi, tak bisa dipungkiri jika kondisi Istihadhah bukan lagi kondisi yang sangat darurat, hingga hanya di jumpai pada beberapa orang saja. Di zaman ini, wanita dalam kondisi istihadhah itu ternyata semakin banyak, dengan berbagai keadaan, misalnya siklus haidnya memang sangat tak teratur, dalam keadaan sakit, karena pemakaian alat kontrasepsi, minum obat KB ataupun akan menopause.
Jika keadaan Istihadhah atau biasa disebut darah penyakit ini tidak terlalu lama, tentu tidak menjadikan risau. Namun bagaimana kalau sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Tentu ini akan menjadi problematika tersendiri buat sang istri apalagi sang suami yang pada saat tertentu hal-hal bersifat ruhaniah alias ber-intim-ria dengan istri harus tersalurkan. Untuk itu, bolehkah wanita dalam keadaan Istihadhah ini digauli suaminya?
Beberapa pendapat ini bisa menjawab kegelisahan para Ummi dengan pendapat ulama berikut dalil dan alasannya:
1.Hukum wanita istihadhah sama dengan hukum wanita yang suci (soal ibadah: shalat, puasa, baca Al Qur’an, thawaf), juga soal berjima’ walau ada beberapa ulama yang berlainan pendapat, hal ini dilihat dari Risalah fid Dima ‘Ath-Thabi’iyyah lin-Nisa halaman 50.
2.Jumhur ulama berpandangan boleh berjima’dengan istrinya walau dia dalam keadaan istihadhah, dan ini adalah pendapat yang kuat.
3.Pendapat lainnya tidak membolehkan kecuali istihadhahnya panjang, ada juga yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan dengan darah haid. Dan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika meninggalkan (jima’) akan menimbulkan penderitaan.
4.Imam Al-Bukhari mengutip ucapan Abdullah Ibnu Abbas dalam kitab shahihnya yang maknanya membolehkan wanita dalam keadaan istihadhah digauli suaminya sebagaimana dibolehkan dia shalat. Sementara perkara shalat itu adalah perkara lebih agung.
Beberapa pendapat para ulama ini bisa menjadi acuan untuk pasangan suami istri yang sedang galau dengan kondisi ini. Paparan ini bisa dipakai pedoman menentukan sikap, karena pada dasarnya Islam tidak memberatkan umatnya. Semoga bermanfaat.
Referensi:
-Muhammad bin Abdul Qadir, Haid dan Masalah-masalah Wanita Muslim, Mojokerto, tahun 1989
-Candra Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghfirah, 2013
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Candra Nila Murti Dewojati, ibu rumahtangga dengan 3 orang anak ini menyukai dunia penulisan dalam 5 tahun terakhir ini. Sudah 10 buku Solo yang dihasilkan, diantaranya “Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat, Panjangkan Umur dengan Silaturahmi, 202 tanya Jawab Fikih Wanita, Strategi jitu meraih Lailatul Qadar, Istri Bahagia, Ayat-ayat Tolak Derita dan masih banyak lainnya , sekitar 15 antologi juga telah ditulisnya bisa dijumpai dalamcandranilamurti@gmail.com, atau Cahaya Istri Sholehah (CIS) di FB, sebuah Grup tertutup mengenai Fikih wanita yang digawanginya.
Jika keadaan Istihadhah atau biasa disebut darah penyakit ini tidak terlalu lama, tentu tidak menjadikan risau. Namun bagaimana kalau sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Tentu ini akan menjadi problematika tersendiri buat sang istri apalagi sang suami yang pada saat tertentu hal-hal bersifat ruhaniah alias ber-intim-ria dengan istri harus tersalurkan. Untuk itu, bolehkah wanita dalam keadaan Istihadhah ini digauli suaminya?
Beberapa pendapat ini bisa menjawab kegelisahan para Ummi dengan pendapat ulama berikut dalil dan alasannya:
1.Hukum wanita istihadhah sama dengan hukum wanita yang suci (soal ibadah: shalat, puasa, baca Al Qur’an, thawaf), juga soal berjima’ walau ada beberapa ulama yang berlainan pendapat, hal ini dilihat dari Risalah fid Dima ‘Ath-Thabi’iyyah lin-Nisa halaman 50.
2.Jumhur ulama berpandangan boleh berjima’dengan istrinya walau dia dalam keadaan istihadhah, dan ini adalah pendapat yang kuat.
3.Pendapat lainnya tidak membolehkan kecuali istihadhahnya panjang, ada juga yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan dengan darah haid. Dan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika meninggalkan (jima’) akan menimbulkan penderitaan.
4.Imam Al-Bukhari mengutip ucapan Abdullah Ibnu Abbas dalam kitab shahihnya yang maknanya membolehkan wanita dalam keadaan istihadhah digauli suaminya sebagaimana dibolehkan dia shalat. Sementara perkara shalat itu adalah perkara lebih agung.
Beberapa pendapat para ulama ini bisa menjadi acuan untuk pasangan suami istri yang sedang galau dengan kondisi ini. Paparan ini bisa dipakai pedoman menentukan sikap, karena pada dasarnya Islam tidak memberatkan umatnya. Semoga bermanfaat.
Referensi:
-Muhammad bin Abdul Qadir, Haid dan Masalah-masalah Wanita Muslim, Mojokerto, tahun 1989
-Candra Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghfirah, 2013
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Candra Nila Murti Dewojati, ibu rumahtangga dengan 3 orang anak ini menyukai dunia penulisan dalam 5 tahun terakhir ini. Sudah 10 buku Solo yang dihasilkan, diantaranya “Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat, Panjangkan Umur dengan Silaturahmi, 202 tanya Jawab Fikih Wanita, Strategi jitu meraih Lailatul Qadar, Istri Bahagia, Ayat-ayat Tolak Derita dan masih banyak lainnya , sekitar 15 antologi juga telah ditulisnya bisa dijumpai dalamcandranilamurti@gmail.com, atau Cahaya Istri Sholehah (CIS) di FB, sebuah Grup tertutup mengenai Fikih wanita yang digawanginya.
Artikel ini bermanfaat berbagi dengan sahabat Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar