Sehari Tanpa Belanja
20 Februari 2013 | Dibaca : 1914 Kali | Rubrik : Media dan Kita
Mungkin Anda masih ingat, beberapa bulan lalu media ramai mengabarkan kehebohan masyarakat membeli alas kaki karet bermerek internasional yang saat itu sedang diskon besar-besaran di sebuah mal besar di Jakarta. Antreannya bahkan mengular sampai lantai satu. Padahal tokonya terletak di lantai tiga!
Para pembeli yang mengantre saat diwawancara mengatakan, mereka rela mengantri berjam-jam untuk mendapatkan alas kaki tersebut dengan berbagai alasan. Mulai dari “Mumpung diskon,” atau “Pengen punya,” sampai “Mereknya terkenal!” Seingat saya, dari berbagai pemberitaan di TV tadi tak ada satu orang pun yang menjawab, “Saya ke sini memang sedang memerlukan sepatu.”
Tanpa kita sadari, saat ini kita telah masuk ranah yang disebut para ahli sebagai 'budaya konsumer'. Masyarakat modern sering menerima kritikan pembeli yang boros alias tidak hemat karena membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang yang bukan menjadi kebutuhannya. Mereka mudah tergoda rayuan iklan, diskon dan kartu kredit.
Mari Renungkan
Kenyataan ini sebaiknya jadi bahan renungkan buat kita. Lihat barang-barang yang kita miliki sekarang. Cermati berapa banyak barang yang kita beli itu benar-benar kita butuhkan? Jujur, tak jarang kita membeli hanya atas dasar keinginan, bukan karena alasan kebutuhan. Apalagi saat hari raya atau hari libur, tanpa sadar kita membeli lebih banyak barang dari biasanya. Bahkan, kita sampai rela menguras uang THR atau berutang.
Kebanyakan dari kita juga menjadikan kegiatan berbelanja untuk mengisi waktu luang. Keluarga mana sih yang tidak menghabiskan waktu luangnya di pusat perbelanjaan? Alhasil, orangtua turut andil menularkan budaya konsumerisme kepada buah hati karena mereka meniru kebiasaan orangtuanya.
Berbagai kritik terhadap budaya konsumerisme ini melahirkan kampanye Buy Nothing Day alias “Hari Tanpa Belanja”. Gagasan sederhana—tidak berbelanja selama sehari—ini mengajak kita bersikap kritis melawan budaya konsumerisme.
Ingat Tanggalnya dan Sosialisasikan
Kampanye ini dimulai sejak 1993 oleh Adbuster, gabungan aktivis media yang berpusat di Kanada. Penggagasnya, Ted Dave. Kampanye ini jadi sorotan karena dinilai bermanfaat. Sampai saat ini tercatat lebih dari 65 negara mengampanyekan hal serupa. Bahkan, di beberapa tempat kegiatannya berkembang menjadi Buying Nothing Week (Minggu Tanpa Belanja).
Selain berkomitmen mengurangi belanja, kampanye ini sekaligus ajakan agar kita aktif mendaur-ulang dan bentuk protes kepada para produsen untuk bersikap lebih jujur dan fair.
Hari Tanpa Belanja adalah protes dunia tentang hal-hal yang lebih makro. Misalnya tentang kesenjangan distribusi kesejahteraan, bagaimana barang-barang produksi dibuat, murahnya perusahaan-perusahaan besar membayar tenaga kerja di negara-negara berkembang, dan buruknya sistem perlindungan pekerja.
Amerika Serikat dan Kanada merayakan Hari Tanpa Belanja sehari setelah perayaan Thanksgiving. Hari tersebut dipilih karena itulah saat klimaks masyarakat mendatangi pusat perbelanjaan. Sedangkan di berbagai negara, penentuan Hari Tanpa Belanja berdasarkan hari yang paling memungkinkan masyarakat banyak berbelanja, misalnya perayaan hari raya.
Sayang, kampanye ini belum terdengar di Indonesia. Jika pun ada, baru sebatas ajakan lewat jejaring sosial di internet. Biasanya, perayaannya hari Sabtu pada pekan terakhir di bulan November. Tahun ini, peringatan Hari Tanpa Belanja berlangsung tanggal 27 November.
Mulai dari Sekarang!
Harapannya, kampanye ini menginspirasi kita untuk tidak menjadikan shopping sebagai kegiatan rutin di waktu luang. Sebaliknya, kita isi waktu luang tersebut dengan hal bermanfaat. Misalnya, bercengkerama dengan keluarga, olahraga dan melakukan kegiatan yang berdampak positif bagi pengembangan potensi anggota keluarga.
Tentu, Hari Tanpa Belanja yang hanya berlangsung sehari tidak akan mengubah drastis gaya hidup kita. Tetapi, jadikan momen ini sebagai simbol untuk mengubah diri, tidak lagi menjadi konsumen boros yang tidak memikirkan dampak dari kegiatan belanja kita.
Ayo, kita terapkan budaya hemat mulai dari lingkup rumah tanpa harus menunggu tanggal 27 November. Lakukan dulu satu hari, dan rasakan perubahan yang terjadi. Kemudian, lanjutkan dengan melakukannya selama dua hari, lima hari, seminggu. Hal yang terpenting adalah membangun semangat gagasan ini dalam hati dan keluarga kita. Mulai sekarang, jadilah konsumen cerdas, tidak melulu dininabobokan rayuan iklan, kartu kredit, dan diskon! (Nina M. Armando)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar